Geologi?
Binatang apa sih itu? Itulah pertanyaan yang banyak ditujukan ke saya dahulu
saat nekat mengarsir kolom pilihan jurusan ini saat mengikuti UMPTN. Tak
tanggung-tanggung bahkan ibu saya pun meragukan ‘keberadaan’ jurusan ini. “Lha, jurusan apa itu? Nanti kerjanya
kayak apa?”, tanya beliau sambil mendelik. Namun maaf saja, tidak seperti
sebagian mahasiswa lain yang terdampar di geologi karena blind date, saya sendiri merasa sudah cukup paham binatang apa itu
geologi. Jadi, tidak hanya ekstra telaten mempelajari susunan mata kuliah bermodalkan
buku kurikulum kampus yang saya pinjam, saya pun sudah melakukan wawancara
dengan beberapa senior yang kebetulan kuliah di geologi. Dengan modal reconnasissance awal itu, mata saya pun
lebih terbuka tentang apa-apa yang dipelajari nantinya selama kuliah jika saya
masuk ke jurusan itu. Tentu saja, saya juga sudah tahu bahwa hampir semua
hitungan yang berat-berat dalam geologi di-convert
dan disajikan dalam bentuk tabel dan chart.
Jadi, kita tinggal mem-plot-kan saja
titik perpotongan dari sumbu-sumbunya dan nilai itulah yang kita ambil.
Seberapa akurat kah hasilnya itu? Yah, beda sepuluh-dua puluh persen dalam
geologi adalah sah-sah saja, apalagi jika chart
yang kita gunakan adalah hasil fotokopian textbook
yang kesekian kali turunan sehingga skalanya pun sudah mulur-mulur tidak karuan.
Idealnya sih, menurut textbook yang
saya baca, seorang geologist adalah seorang
yang awalnya juga ahli di bidang biologi, fisika, kimia dan matematika. Dan well, saya tidak ahli di bidang itu
satupun kecuali agak sedikit nyangkut di biologi (itu pun banyakan hapalnya di
pelajaran reproduksi he). Jadi sebenarnya motivasi saya masuk geologi cukup
jelas : “Saya senang naik gunung dan saya tidak jago sama sekali dalam ilmu
pasti namun sangat ingin sekali menyandang gelar Sarjana Teknik biar keren”.
Dapat
ditebak dengan mudahnya tentu saja, dua semester pertama saya nilainya hancur berantakan.
Penyebabnya adalah bertaburannya Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib
diambil seperti Fisika, Kalkulus dan Kimia. Belum puas menyiksa mahasiswa
dengan mata kuliah kelas berat itu, muncul lagi mata kuliah hasil turunannya
seperti Kimia Analis dan Kimia Fisika. Walhasil, para dosen mata kuliah itu pun
menjadi musuh bebuyutan kami. Dan stereotype
dosen-dosen dari MIPA pun tetap melekat erat di mereka, old-fashioned, kaku, dan tidak komunikatif. Bagaimana tidak namanya
old-fashioned, dandanan mereka
rata-rata adalah gaya pemuda tahun 70-an; celana cutbrai, kemeja ketat kancing atas dibuka dan tentu saja dengan
kacamata setebal pantat botol bertengger di atas hidung. Rina, seorang teman SMA
saya yang telah menamatkan kuliah D3-nya di jurusan Kimia Terapan salah satu
PTN di Jakarta dan meneruskan ekstensi S1-nya di MIPA sini, nyeletuk : “Busyet dah mahasiswa-mahasiswi di sini, masak pergi kuliah pakai kemeja
merah bawahannya celana coklat!”. Saya pun mencoba berkelit, menerangkan bahwa
dari segi berpakaian memang kami masih jauh dari namanya modis, maklum ndeso, tapi inilah kampus yang terkenal
dengan kesederhanaannya dan lebih mengutamakan otak daripada penampilan. Masih merasa
dendam dengan statement teman saya
itu, ‘tema perang’ yang sering kami angkat pun berselubung arogansi jurusan (walaupun
intinya adalah dasar kaminya saja yang tidak sanggup menghadapi siksaan ganas dosen-dosen
mata kuliah dasar itu). Arogansi jurusan ini kadang-kadang juga bisa membuat
kami berubah jadi mahasiswa yang menyebalkan. “Mbak-mbak, ngapain sih kuliah 5 tahun cuma untuk belajar gigi saja, gak kelamaan tu Mbak? Kami saja 5 tahun
kuliah sudah khatam belajar bumi dan
alam semesta, sama isi-isinya lagi!”, demikian goda kami ke seorang mahasiswi
Kedokteran Gigi yang kebetulan cukup manis parasnya.
Indeks
Prestasi saya di semester I hanya mencapai 2,6 lebih sedikit, hanya masuk ke
golongan PMDK (Perhimpunan Mahasiswa IP Dua Koma). Selain saya, ada juga beberapa
teman bernasib malang yang dikutuk terjerumus masuk ke golongan Nasakom (nasib
satu koma). Karena itu pulalah saya menargetkan bahwa paling tidak saya harus lulus
nanti minimal mengantongi Indeks Prestasi Kumulatif 2,75. Membayangkan untuk dapat
lulus dan termasuk dalam klan Primagama (Perhimpunan Mahasiswa IP Tiga Koma)
bagi saya yang otak pas-pasan ini, rasanya hampir tidak mungkin. Dipastikan penyumbang
terbesar jebloknya IP saya di tahun pertama itu adalah nilai-nilai MKDU yang
bertaburan dengan nilai sadis C, D dan E. Bahkan pada mata kuliah Kimia Dasar I,
yang wajib diambil pada semester pertama, saya sukses untuk tidak lulus dengan dianugerahi
nilai E. Penasaran, kesempatan semester pendek tahun berikutnya saya mencoba mengambil
ulang mata kuliah itu dan mendapat nilai yang lebih lumayan, D. Masih penasaran
lagi (campur emosi), pada semester ganjil tahun ketiga saya kejar lagi Kimia
Dasar I itu dan sukseslah dianugerahkan kembali dengan nilai E sebagai penilaian
final. Akhirnya, pasrah dengan ketidakadilan yang saya rasakan, nilai D keparat
itulah yang digunakan dan termaktub dalam Kartu Hasil Studi saya untuk selamanya.
Teman
saya Yadi lebih parah lagi nasibnya, selama menjalani kuliah 5 tahun selama itu
pula setiap tahunnya dia mengambil mata kuliah Kimia Fisika. Jadi, MKDU Kimia
Fisika sudah berubah statusnya jadi mata kuliah wajib baginya. Sebenarnya,
dosen mata kuliah susah ini cukup aneh juga orangnya. Jadi jika beliau memakai
ikat pinggang, saking panjangnya ikat pinggang itu seolah-olah membelit
tubuhnya sebanyak dua putaran. Ujung ikat pinggangnya berakhir di belakang
kanan badan, bukan di samping kiri depan seperti kebanyakan orang-orang. “Mbok yo dipotong ikat pinggangnya, atau
beli baru yang pas di badan gitu lho..”, begitu gumun salah seorang teman. Cerita ‘cinta segitiga’ antara Yadi,
Kimia Fisika dan dosennya ini langsung merekah berbunga-bunga tepat pada semester
pertama. Awalnya Yadi merasa tidak puas dengan nilai C yang diperoleh karena
dia merasa bisa mengerjakan dengan baik soal ujiannya. Apalagi si Mulyono yang notabene
nyontek plek kerjaannya Yadi, malahan dapat nilai B (saya sendiri untuk
mata kuliah ini memperoleh nilai A-thanks
god, satu-satunya nilai A dalam MKDU yang saya peroleh tapi saya sendiri
tidak dong blas sama sekali akan
materi kuliahnya). Penasaran, tiap tahun dia pun mengulang, dan tahun kedua
malahan dia mendapat nilai lebih buruk, D. Tambah emosi, dia mengulang lagi di
tahun ketiga dan memperoleh nilai yang tetap sama, D. Dia sudah merasa demikian
kalapnya ketika mengulang lagi di tahun keempat dan tetap saja mendapat nilai
D, hingga dia datangi dosen itu yang ternyata mengaku stress dengan anak geologi
karena selalu minta nilai bagus tapi tidak pernah memperhatikan beliau saat
kuliah. Sampai-sampai dengan penuh arogan beliau memberikan soal ujian yang dia
bilang tidak akan bisa dijawab satu pun oleh anak geologi. Akhirnya dengan penuh
dendam membara menyala-nyala di dada, Yadi pun mengulang untuk kali terakhir
dan dengan suksesnya ditasbihkan untuk tidak lulus dengan nilai E..!
Satu-satunya nilai E yang pernah dia dapat seumur-umur selama kuliah.
Berapa
orang kah yang bernasib parah seperti kami itu? Banyak juga sih, namun tetap
saja di antara kami muncul beberapa ‘pengkhianat’ yang melejit cemerlang dan lulus
dengan nilai A. Ehm, sebenarnya bukan
pengkhianat sih, memang mereka dasarnya pintar-pintar kok. Ada seorang teman
saya dari Sumatera, sebut saja Satriyo, yang otaknya saking encernya suka menetes
kemana-mana kalau dia berjalan. Segala jenis cacing integral yang membingungkan
dan menjijikkan bisa dia uraikan dengan cepat dengan hasil yang mengagumkan. Namun sayangnya, giliran dia menghadapi materi
kuliah transportasi butir sedimen, membayangkan perubahan ukuran dan bentuk butir
yang terjadi seiring jauhnya jarak transportasi saja sudah kebingungan. Satu logika
yang bagi saya begitu gampangnya, berubah menjadi sesuatu yang kompleks bagi
dia. Begitu pula sebaliknya yang berlaku, benar-benar dunia geologi yang
membingungkan!
Hiburan
kami saat kuliah di semester awal adalah tentu saja mata kuliah-mata kuliah
yang berhubungan dengan geologi itu sendiri, seperti Geologi Fisik dan Dinamik,
Kristalografi dan Mineralogi serta Petrologi. Saya sendiri hampir selalu
mendapat nilai baik untuk mata kuliah kegeologian, minimal B pasti sudah didapat
di tangan. Walaupun sebenarnya saya merasa sama bodohnya saat menghadapi MKDU,
namun tidak tahu kenapa nilainya selalu muncul lebih baik. Mungkin karena
merasa lebih enjoy mengikuti
perkuliahan, ah tapi entahlah. Bagaimana mungkin, kami yang bau kencur tidak
tahu apa-apa ini sudah disodori oleh berbagai nama dan bentuk mineral serta
puluhan jenis batuan yang harus dihapalkan. Mulai dari granit, granodiorit,
riolit dari magma asam, hingga magma-magma lain serta berbagai batuan sedimen
dan juga batuan metamorf yang merupakan turunan dari semua batuan sebelumnya. Targetnya
sih, ini kata dosen mata kuliah Geodinamik, kami harus sudah fasih dengan
tipe-tipe dan segala macam rupa batuan umum pada tahun pertama. Jadi misalnya
kami sedang berjalan dan kaki tersandung batu, seorang mahasiswa geologi tahun
pertama yang baik dan terlatih akan sudah sanggup untuk mengeluarkan makian : “Sompreet…!! Dasar ‘andesit’ sialan…!!”.
Bentuk
dan warna bebatuan yang kami pelajari tersebut banyak yang serupa sehingga sangat-sangat
membingungkan. Kejadian kocak yang saya ingat betul adalah saat dilakukannya tes
praktikum Kristalografi dan Mineralogi, dimana kami harus mendeskripsi dan
menentukan nama berbagai batuan dalam waktu kurang dari 2 menit. Bebatuan yang demikian
banyak dan bermacam-macam jenis itu dijalankan dengan metode rolling ke teman di belakang. Jadi dalam
waktu sekitar 1 jam, kami diserbu oleh berbagai bebatuan bermacam ukuran berwarna-warni
dari berbagai jenis setiap 2 menitnya. Bunyi ‘tok!’, rasanya terdengar seperti gong
kematian bagi kami karena bunyi mistar besi yang dihantamkan ke meja itu adalah
penanda kami harus sudah selesai mendeskripsi batuan di tangan dan
menyerahkannya ke meja belakang. Nah sialnya, seorang asisten dengan isengnya
menyelipkan sepotong beton semen dan pecahan pantat botol di antara tumpukan bebatuan
tersebut. Masih ingat persis dengan kejadian saat itu, “Hmm, batuan beku, abu-abu
cerah, porfiroafanitik dengan fenokris kuarsa 2%, putih mengkilap, 1-2 mm, euhedral dengan masa dasar 98%, abu-abu
cerah, skoriaan?”. “Kok cuma kuarsa ya yang kelihatan? Sedikit banget lagi!”, gumam saya agak
kebingungan. “Ah sudahlah, pasti andesit ini!”, dan saya pun pede menuliskannya di lembar deskripsi. Dan
tentu saja pecahan pantat botol tadi sukses saya deskripsikan sebagai batuan gelas
vulkanik, coklat muda, glassy 100%, translucent. Seingat saya, tidak ada
satupun teman yang berhasil mengenali itu sebagai beton dan beling! Sukseslah kami semua se-angkatan
tertipu mentah-mentah dalam tes tersebut. Di akhir sesi sang ketua asisten
berkata, “Tujuan saya menyelipkan beton dan beling
itu bukan hendak menipu adik-adik lho ya. Kami hanya hendak menekankan bahwa
deskripsi makroskopis tidak akan akurat tanpa memperhatikan singkapan batuan
asalnya di lapangan”. Yeah, whatever the
reason lah, yang jelas nilai kami juga tetap dikurangi gara-gara kehadiran dua
barang terkutuk itu. Sejujurnya, saya sendiri pernah tertipu mentah-mentah saat
mendeskripsi batuan, dan untungnya (sampai tulisan ini dibuat) tidak ada teman satu
pun yang mengetahuinya. Saat sesi kuliah dan praktikum ruangan, kami diberi
tahu bahwa materi erupsi gunung api yang terlempar ke udara dengan ukuran lanau
dan lempung akan mengendap menjadi batuan tuff.
Berwarna putih, ringan, mengandung banyak silika dan melampar mengisi cekungan.
Salah satu cara empiris identifikasi paling cepat untuk tipe tuff adalah dengan menjilat bebatuan
itu. Bila lidah terasa lengket tersedot menempel, berarti itu adalah positif tuff. Di sebuah kesempatan field trip, saya yang merasa menemukan
batuan dengan lensa tuff di dalamnya
mencoba menjilat kenampakan fragmen putih halus itu. Satu menit lamanya saya
menjilat ‘tuff’ jejadian tersebut
tanpa merasa lengket apa-apa, hanya untuk menyadari bahwa yang saya jilat itu
adalah bercak besar dari kotoran burung yang sudah mengering !
Profil
teman seangkatan saya sebenarnya cukup beragam, yang jelas saya ingat betul
saat masuk ada sekitar 82 teman seangkatan dan 11 di antaranya berjenis kelamin
cewek (satu orang cewek masih diragukan keaslian jenis kelaminnya karena sangat
maskulin dan terbukti dalam beberapa kali trip
ke lapangan selalu ditegur dengan sapaan ‘mas’ oleh para penduduk). Dahulu
memang geologi adalah jurusan yang paling minim cewek, sehingga muncul julukan ‘jurusan
1 banding 3’. Bukan berarti satu cewek berbanding tiga cowok ya, tapi satu cewek
dibagi untuk tiga angkatan! Belakangan, tidak tahu kenapa, geologi menjadi
jurusan yang mulai banyak digemari cewek sehingga rasio 1 cewek vs 3 cowok
bukanlah hal yang aneh lagi. Saat ini, kutukan 1 banding 3 itu saya rasa hanya
masih berlaku di jurusan Teknik Mesin yang dalam satu angkatannya bisa memperoleh
2 mahasiswi saja sudah sangat-sangat beruntung. Latar belakang jalur masuk mahasiswa
geologi pun bermacam-macam. Jaman saya saat itu cuma ada tiga, jalur Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Pemilihan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan
Pemilihan Bibit Atlet Daerah (PBAD). Nah, teman-teman non-UMPTN ini lah yang
paling kasihan. Bukan apa-apa, seringkali mereka terdampar ke geologi tapi
tidak tahu seperti apa nanti kuliahnya. Maklumlah, saat kelas dua SMA, mereka
hanya mendaftar memilih jurusan tertentu tanpa merasa mendapat informasi yang
cukup seperti apa profil jurusan tersebut sesungguhnya. Contohnya ya teman saya
si jago kalkulus Satriyo tadi, yang
merasa kesulitan mengadaptasikan diri dengan fenomena geologi yang lebih condong
ke sifat abstrak daripada eksak. Yang lebih parah lagi, teman-teman non-UMPTN
ini juga sering diejek-ejek kapasitasnya sebagai mahasiswa. Mengapa? Yah,
karena mereka dianggap tidak ikut merasakan beratnya siksaan UMPTN. Tidak ikut
merasakan susahnya dan pusingnya persiapan bimbel, desak-desakan mengantri
formulir, hingga bersaing ketat se-antero nusantara memperebutkan kursi yang
cuma ‘se-iprit’ jumlahnya itu.
Tekanan mental itu, walaupun hanya tersirat, ternyata cukup dahsyat juga efeknya
bagi sebagian orang. Saat akhir tahun pertama, beberapa rekan ketahuan mencoba
mengambil tes UMPTN. Beberapa yang lulus, dan yang memang dari awal berniat
pindah ke jurusan yang lebih bergengsi seperti Teknik Kimia, Teknik Elektro dan
Kedokteran Umum pun segera hijrah. Ada juga yang cukup sableng, tampak beberapa rekan hanya mondar-mandir di tangga kampus
menenteng-nenteng selembar koran lokal yang memuat nama-nama peserta kelulusan
UMPTN. Dengan bangganya mereka men-stabilo
namanya di situ dan memamerkan kelulusannya ke teman-teman yang lain. Apakah
mereka juga akan pindah jurusan? Oh tidak, mereka ikut tes UMPTN lagi tanpa ada
niat sama sekali untuk pindah jurusan. Mereka hanya hanya mau show off ke rekan-rekan lain bahwa
sebenarnya mereka yang dulu masuk dari jalur non-UMPTN, sanggup untuk lulus
UMPTN dan berhak memosisikan dirinya setara dengan yang lain. Kehilangan
beberapa teman di tahun kedua (kami menjadi ber-78), tidak menyurutkan semangat
kami melanjutkan kuliah ke semester-semester atas. Tahun kedua itu pulalah
arogansi UMPTN vs non-UMPTN mulai mencair dan hilang sepenuhnya ditempa oleh waktu
dan beratnya beban materi kuliah geologi yang dengan kompak kami hadapi bersama-sama.
Apakah
akhirnya semua dari kami lulus dengan gemilang dan happy ending? Tidak juga sebenarnya, beberapa teman memang ‘menghilang’
di tengah jalan. Ada yang menghilang karena masalah keluarga, ada yang karena
kesulitan ekonomi, ada yang sudah memperoleh pekerjaan dan berbagai masalah
klasik lain yang umum menimpa mahasiswa ndeso
seperti kami. Namun satu yang masih membekas di ingatan kami, seorang teman yang
baik hati bernama Irwan Pandu yang berasal dari pulau Obi-Maluku, yang
menghilang tanpa kabar selama dua tahun lamanya. Dan sangat mengejutkan saat berita
terakhir yang saya terima, dia sudah bergabung ke salah satu laskar keagamaan
dan terjun ke salah satu medan konflik di Indonesia kala itu. Benar-benar unik
dan lain dari yang lain!
Moral of The Story :
Hidup adalah pilihan, dan jika sudah membuat pilihan,
jalanilah sepenuh hati dengan segala konsekuensinya walaupun pahit rasanya.