Demistifikasi Persepsi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana

Kamis, 06 Februari 2014


 PUSAT STUDI PERUBAHAN IKLIM DAN KEBENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

oleh :
Adam Ikhya Alfarokhi / 12513134 / PuSPIK UII

Bencana alam sering menelan korban. Salah satu penyebab bencana alam justru bersumber dari ulah manusia. Pertama, manusia justru merusak ekosistem alam sehingga bencana justru menerpanya, misalnya manusia melakukan penggundulan hutan sehingga berakibat terjadinya banjir. Kedua, manusia kurang waspada sehingga tidak melakukan mitigasi sedini mungkin. Ketiga, manusia mulai hidup dalam alam modernitas sehingga menyepelekan kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan alam dan kehidupan bersama. Kearifan lokal itu berfungsi sebagai semacam alat mitigasi untuk mengurangi resiko atas terjadinya bencana. Sebaliknya, manusia kemudian masa kini hanya percaya kepada pengetahuan dan teknologi modern walaupun ternyata tidak mudah diaplikasikan karena adanya hambatan SDM, birokrasi, dan sumber daya keuangan serta benturan dengan budaya dan masyarakat yang masih kuat memegang prinsip kearifna lokal.
Demistifikasi yang berkaitan dengan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat menurut Barthes adalah fungsi dari mitologis yang berlawanan dengan mitos-mitos pembuat, adalah untuk melawan mitos dengan mengekspos apa yang dilihat sebagai delusi atau kebohongan. Membuka mata publik untuk fakta bahwa apa yang mungkin muncul “tidak bersalah” dan “wajar”nadalah sebagian besar hasil dari distorsi dan misinterpretasi yang termotivasi oleh ideologi.
Sebagai contoh yang dijelaskan oleh Prof.Dr.Ir. Dwikorita dalam seminarnya, setiap terjadi gempa bumi di suatu daerah selalu dikaitkan dengan kemunculan awan gempa (yaitu awan cirrus) yang keberadaannya disebut-sebut sebagai tanda akan terjadinya gempa. Analisis menjelaskan bahwa belum ada bukti yang kuat mengenai hal tersebut, kemunculan awan cirrus masih berupa hipotesis dan masih dianggap kebetulan saja namun mitos yang berkembang di masyarakat seolah-olah mendoktri bagi siapa saja yang mendengar mitos tersebut menjadi percaya. Awan gempa yang di liat oleh sekelompok orang disuatu kawasan yang terjadi gempa tidak dapat memberikan kesimpulan bahwa setiap munculnya awan cirrus tersebut akan terjadi gempa. Keberadaan awan tersebut yang diliat oleh orang satu dengan orang yang lainnya dengan perbedaan lokasi yang cukup jauh, belum tentu membuktikan bahwa awan tersebut adalah awan yang sama.
Mitos yang mudah berkembang membuat masyarakat juga mudah tersesat dengan kepercayaan yang belum terbukti secara ilmiah. Prof.Dr.Ir Dwikorita mengibaratkan hal lain adalah dengan kejadian yang dimisalkan “ketika Pak SBY dan istri sedang berpidato lalu ada seribu orang yang mendengarkan kemudia terjadi gempa bumi, maka akankah dapat disimpulkan bahwa setiap Pak SBY dan istri sedang berpidato dan disaksikan oleh seribu orang maka itu adalah tanda akan terjadinya gempa?”. Oleh karena itu Demistifikasi persepsi masyarakat sangat diperlukan dalam mensikapi terjadinya bencana alam.
Dari uraian tersebut dapat ditarik akar permasalahannya yaitu :
1.      Belum dipahaminya fenomena yang terjadi sebenarnya adalah fenomena apa
2.      Apa yang harus dilakukan ketika terjadi fenomena tersebut
3.      Bagaimana mensikapi fenomena tersebut dengan tepat. (menghindar,mencegah, dan beradaptasi)
Dari akar permasalahan tersebut terdapat GAP yang menghambat proses penyelesaiannya, diantaranya adalah
1.      Problem Sosial dan Teknis :
(a)    Akses masyarakat masih terhalang pada hasil riset
(b)   Pemahaman dan kapasitas masyarakat dan pemerintah
(c)    Kondisi sosial kultural-ekonomi
2.      Kolaborasi akademi-komunitas-pemerintah-industri
Oleh karena itu beberapa upaya demistifikasi dapat dilakukan dengan cara riset, edukasi, penguatan spiritual, dan kolaborai semua pihak yang terkait.
Indonesia berada pada tempat yang terkena dampak proses geologi yang dapat merugikan manusia. Sehingga “mitigasi”nadalah upaya untuk mensikapinya.
Mitigasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan penanggulangan bencana alam yang berlangsung dalam kondisi pra-bencana. Kegiatan mitigasi itu meliputi pencegahan dan pengurangan resiko bencana, baik yang berdifat kultural maupun yang berdifat teknokratis. Dalam kehidupan sehari-hari orang Merapi (warga yang tinggal disekitar Gunung Merapi) yang terkelompok dalam komunitas-komunitas dusun sepertinya tidak memiliki aktivitas mitigasi. Memang tanpa melakukan observasi dan kontak intensif dengan warga, maka akan sulit dijumpai adanya berbagai bentuk mitigasi berdasarkan perspektif lokal. Hal ini karena kegiatan mitigasinya dapat dikatakan melebur menjadi satu satuan kegiatan hidup sehari-hari di sektor pertania, peternakan, pembangunan rumah dan sarana fisik, dan ritual keagamaan.
Dalam kenyataannya, orang merapi memiliki strategi mitigasi yang relatif dapat diandalkan sebagai instrumen untuk beradaptasi dengan bencana. Mereka seperti orang Jawa pada umumnya sangat kuat mengembangkan tema budaya dahulukan selamat dalam meniti kehidupan yang lekat dengan bahaya disekitarnya bila tidak diantisipasi. Oleh karena itu, mereka mengembangkan berbagai strategi agar keselamatna itu diraih sekalipun hidup di Merapi yang terus aktif.
Pengurangan resiko bencana dalam perspektif orang Merapi melalui kegiatan mitigasi dilakukan melalui empat elemen mitigasi yaitu:
1.      Peningkatan Kepekaan Batin
2.      Melakukan Ritual Keagamaan
3.      Pengaturan Tata Ruang, dan Penerapan Teknologi Tepat Guna
4.      Responsifnya warga terhafapt mitra; Program Pemerintah dan LSM
Penguatan kearifan lokal itu identik dengan penignkatan partisipasi masyarakat. Memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengembangkan kearifan lokal seperti mempertajam religiositas, kedekatan dengan alam, gotong royong, dan berbagai ekspresi solidaritas sosial justru lebih penting daripada memperkuat peran pemerintah sehingga meruntuhkan ketahanan masyakarakat terhadap bencana.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa berkembangnya mitos di masyarakat sebaiknya segera dibuktikan dengan riset yang kemudia setelah terbukti untuk segera dipublis kemasyarakat agar tersebarkan kebenarannya sehigga diharapkan tidak menjadi sebuah penyesatan untuk masyarkat. Dan untuk hal-hal yang belum terbukti kebenarannya sebaiknya dijaga agar tidak dibesar-besarkan yang dapat berdampak negatif dikemudian hari.