PUSAT STUDI PERUBAHAN IKLIM DAN KEBENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
oleh :
Adam Ikhya Alfarokhi / 12513134 / PuSPIK UII
Bencana alam sering menelan korban.
Salah satu penyebab bencana alam justru bersumber dari ulah manusia. Pertama,
manusia justru merusak ekosistem alam sehingga bencana justru menerpanya,
misalnya manusia melakukan penggundulan hutan sehingga berakibat terjadinya
banjir. Kedua, manusia kurang waspada sehingga tidak melakukan mitigasi sedini
mungkin. Ketiga, manusia mulai hidup dalam alam modernitas sehingga menyepelekan
kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh masyarakat lokal untuk beradaptasi
dengan alam dan kehidupan bersama. Kearifan lokal itu berfungsi sebagai semacam
alat mitigasi untuk mengurangi resiko atas terjadinya bencana. Sebaliknya,
manusia kemudian masa kini hanya percaya kepada pengetahuan dan teknologi
modern walaupun ternyata tidak mudah diaplikasikan karena adanya hambatan SDM,
birokrasi, dan sumber daya keuangan serta benturan dengan budaya dan masyarakat
yang masih kuat memegang prinsip kearifna lokal.
Demistifikasi yang berkaitan dengan
mitos-mitos yang berkembang di masyarakat menurut Barthes adalah fungsi dari
mitologis yang berlawanan dengan mitos-mitos pembuat, adalah untuk melawan
mitos dengan mengekspos apa yang dilihat sebagai delusi atau kebohongan.
Membuka mata publik untuk fakta bahwa apa yang mungkin muncul “tidak bersalah”
dan “wajar”nadalah sebagian besar hasil dari distorsi dan misinterpretasi yang
termotivasi oleh ideologi.
Sebagai contoh yang dijelaskan oleh
Prof.Dr.Ir. Dwikorita dalam seminarnya, setiap terjadi gempa bumi di suatu
daerah selalu dikaitkan dengan kemunculan awan gempa (yaitu awan cirrus) yang
keberadaannya disebut-sebut sebagai tanda akan terjadinya gempa. Analisis
menjelaskan bahwa belum ada bukti yang kuat mengenai hal tersebut, kemunculan
awan cirrus masih berupa hipotesis dan masih dianggap kebetulan saja namun
mitos yang berkembang di masyarakat seolah-olah mendoktri bagi siapa saja yang
mendengar mitos tersebut menjadi percaya. Awan gempa yang di liat oleh sekelompok
orang disuatu kawasan yang terjadi gempa tidak dapat memberikan kesimpulan
bahwa setiap munculnya awan cirrus tersebut akan terjadi gempa. Keberadaan awan
tersebut yang diliat oleh orang satu dengan orang yang lainnya dengan perbedaan
lokasi yang cukup jauh, belum tentu membuktikan bahwa awan tersebut adalah awan
yang sama.
Mitos yang mudah berkembang membuat
masyarakat juga mudah tersesat dengan kepercayaan yang belum terbukti secara
ilmiah. Prof.Dr.Ir Dwikorita mengibaratkan hal lain adalah dengan kejadian yang
dimisalkan “ketika Pak SBY dan istri sedang berpidato lalu ada seribu orang
yang mendengarkan kemudia terjadi gempa bumi, maka akankah dapat disimpulkan
bahwa setiap Pak SBY dan istri sedang berpidato dan disaksikan oleh seribu
orang maka itu adalah tanda akan terjadinya gempa?”. Oleh karena itu
Demistifikasi persepsi masyarakat sangat diperlukan dalam mensikapi terjadinya
bencana alam.
Dari uraian tersebut dapat ditarik akar
permasalahannya yaitu :
1.
Belum
dipahaminya fenomena yang terjadi sebenarnya adalah fenomena apa
2.
Apa yang harus
dilakukan ketika terjadi fenomena tersebut
3.
Bagaimana
mensikapi fenomena tersebut dengan tepat. (menghindar,mencegah, dan
beradaptasi)
Dari akar permasalahan tersebut terdapat
GAP yang menghambat proses penyelesaiannya, diantaranya adalah
1.
Problem Sosial
dan Teknis :
(a)
Akses masyarakat
masih terhalang pada hasil riset
(b)
Pemahaman dan
kapasitas masyarakat dan pemerintah
(c)
Kondisi sosial
kultural-ekonomi
2.
Kolaborasi
akademi-komunitas-pemerintah-industri
Oleh karena itu beberapa upaya
demistifikasi dapat dilakukan dengan cara riset, edukasi, penguatan spiritual,
dan kolaborai semua pihak yang terkait.
Indonesia berada pada tempat yang
terkena dampak proses geologi yang dapat merugikan manusia. Sehingga
“mitigasi”nadalah upaya untuk mensikapinya.
Mitigasi merupakan salah satu rangkaian
kegiatan penanggulangan bencana alam yang berlangsung dalam kondisi
pra-bencana. Kegiatan mitigasi itu meliputi pencegahan dan pengurangan resiko
bencana, baik yang berdifat kultural maupun yang berdifat teknokratis. Dalam
kehidupan sehari-hari orang Merapi (warga yang tinggal disekitar Gunung Merapi)
yang terkelompok dalam komunitas-komunitas dusun sepertinya tidak memiliki
aktivitas mitigasi. Memang tanpa melakukan observasi dan kontak intensif dengan
warga, maka akan sulit dijumpai adanya berbagai bentuk mitigasi berdasarkan
perspektif lokal. Hal ini karena kegiatan mitigasinya dapat dikatakan melebur
menjadi satu satuan kegiatan hidup sehari-hari di sektor pertania, peternakan,
pembangunan rumah dan sarana fisik, dan ritual keagamaan.
Dalam kenyataannya, orang merapi
memiliki strategi mitigasi yang relatif dapat diandalkan sebagai instrumen
untuk beradaptasi dengan bencana. Mereka seperti orang Jawa pada umumnya sangat
kuat mengembangkan tema budaya dahulukan selamat dalam meniti kehidupan yang
lekat dengan bahaya disekitarnya bila tidak diantisipasi. Oleh karena itu,
mereka mengembangkan berbagai strategi agar keselamatna itu diraih sekalipun
hidup di Merapi yang terus aktif.
Pengurangan resiko bencana dalam
perspektif orang Merapi melalui kegiatan mitigasi dilakukan melalui empat
elemen mitigasi yaitu:
1.
Peningkatan
Kepekaan Batin
2.
Melakukan Ritual
Keagamaan
3.
Pengaturan Tata
Ruang, dan Penerapan Teknologi Tepat Guna
4.
Responsifnya
warga terhafapt mitra; Program Pemerintah dan LSM
Penguatan kearifan lokal itu identik
dengan penignkatan partisipasi masyarakat. Memberikan kepercayaan kepada
masyarakat untuk mengembangkan kearifan lokal seperti mempertajam religiositas,
kedekatan dengan alam, gotong royong, dan berbagai ekspresi solidaritas sosial
justru lebih penting daripada memperkuat peran pemerintah sehingga meruntuhkan
ketahanan masyakarakat terhadap bencana.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa berkembangnya mitos di masyarakat sebaiknya segera dibuktikan dengan
riset yang kemudia setelah terbukti untuk segera dipublis kemasyarakat agar
tersebarkan kebenarannya sehigga diharapkan tidak menjadi sebuah penyesatan
untuk masyarkat. Dan untuk hal-hal yang belum terbukti kebenarannya sebaiknya
dijaga agar tidak dibesar-besarkan yang dapat berdampak negatif dikemudian
hari.