cak nun

Kamis, 15 September 2011

Makna Spiritual Dan Sosial Ibadah Puasa
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu saling terkait, atau tidak?

‘Alamat’ dan ‘Jurusan’


Syahadah.
 Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam ‘alamat’ dan ‘jurusan’. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru kemudian kedua kultural.

Pandangan tentang ’sangkan paran’, semacam alamat historis-kosmologis,mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan. menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu,

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan Kehidupan


Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.

Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan, targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang berkuasa, orang berkarier, dalam ‘durasi’ dunia.

Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia dikerjakan sebagai jalan (syari’, thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat. Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung, berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.

Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui syahadatain, ibadah lain serta ’syariat’ hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat. Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya, melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam hidupnya.

Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia sebagai target dan tujuan.

Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan (spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya, yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan kehidupan.

Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil


Salat.
 Ibadah Salat merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.

Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsi-persepsinya, untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandangan-pandangannya terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik berat atau tujuan kehidupan.

Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.

Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan (’air hujan’, salah satu jenis air yang disebut oleh al-Qur’an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).

Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur’an). Kambing tidak meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak dan makhluk lain. Etos zakat adalah membersihkan harta perolehan manusia. Membersihkan artinya memproporsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau makhluk lain atasnya.

Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan


Puasa
. Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih ‘revolusioner’ radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti disebutkan al-Qur’an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan Ramadhan.

Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.

Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.

Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam substansi manusia hidup. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.

Sementara ibadah haji adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari suatu sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah.

Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan siklikal, perjalanan yang ‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.

Ihram adalah ‘pelecehan’ habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan, kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir kembali ke kemegahan-kemegahan dunia–tak lagi untuk disembahnya atau dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.

Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal


Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para pelaku Rukun Islam, terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?

Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal (tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk, memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.

Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa–sekaligus berarti proses deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbai-rumbai sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujud-qidam-baqa’ Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada, ada-nya palsu–oleh Yang Sejati Ada.

Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra’ Mi’raj. Rasulullah mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka, dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta dihamparkan–tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan sifat-Nya.

Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju (bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.

Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras. Nasi itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian transformatif. Para pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak makan beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan nasi memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu yang baru.

Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan (mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya sendiri (gumpalan individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena ‘dirinya’ di akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.

Pada ‘citra’ waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian atas semua gumpalan itu.

Melampiaskan dan Mengendalikan


Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial (tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa’ dan tak berakhir.

Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan, diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.

Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya–sesungguhnya merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.

Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui terma-terma materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan, pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industri-konsumsi kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius.

Ibadah puasa merupakan jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk mencapai kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan iradah Allah Individu Besar Total.

Kita bisa menolak ke terma sab’a samawat, tujuh langit– Roh-Benda-Tumbuhan-Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar proses peruhanian yang diselenggarakan oleh manusia.

Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif, ‘agama’ intelektual, ‘agama’ wahyu, serta ‘agama atas agama’--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan wahyu –Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka ‘agama atas agama’ merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua manusia bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.

Tema lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la’allakum tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlak-takwa. Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang untuk sekadar mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih lagi ke level akhlak dan takwa.

..Tersesat ke Jalan yang Benar, Geologi

Senin, 12 September 2011


Geologi? Binatang apa sih itu? Itulah pertanyaan yang banyak ditujukan ke saya dahulu saat nekat mengarsir kolom pilihan jurusan ini saat mengikuti UMPTN. Tak tanggung-tanggung bahkan ibu saya pun meragukan ‘keberadaan’ jurusan ini. “Lha, jurusan apa itu? Nanti kerjanya kayak apa?”, tanya beliau sambil mendelik. Namun maaf saja, tidak seperti sebagian mahasiswa lain yang terdampar di geologi karena blind date, saya sendiri merasa sudah cukup paham binatang apa itu geologi.  Jadi, tidak hanya ekstra telaten mempelajari susunan mata kuliah bermodalkan buku kurikulum kampus yang saya pinjam, saya pun sudah melakukan wawancara dengan beberapa senior yang kebetulan kuliah di geologi. Dengan modal reconnasissance awal itu, mata saya pun lebih terbuka tentang apa-apa yang dipelajari nantinya selama kuliah jika saya masuk ke jurusan itu. Tentu saja, saya juga sudah tahu bahwa hampir semua hitungan yang berat-berat dalam geologi di-convert dan disajikan dalam bentuk tabel dan chart. Jadi, kita tinggal mem-plot-kan saja titik perpotongan dari sumbu-sumbunya dan nilai itulah yang kita ambil. Seberapa akurat kah hasilnya itu? Yah, beda sepuluh-dua puluh persen dalam geologi adalah sah-sah saja, apalagi jika chart yang kita gunakan adalah hasil fotokopian textbook yang kesekian kali turunan sehingga skalanya pun sudah mulur-mulur tidak karuan. Idealnya sih, menurut textbook yang saya baca, seorang geologist adalah seorang yang awalnya juga ahli di bidang biologi, fisika, kimia dan matematika. Dan well, saya tidak ahli di bidang itu satupun kecuali agak sedikit nyangkut di biologi (itu pun banyakan hapalnya di pelajaran reproduksi he). Jadi sebenarnya motivasi saya masuk geologi cukup jelas : “Saya senang naik gunung dan saya tidak jago sama sekali dalam ilmu pasti namun sangat ingin sekali menyandang gelar Sarjana Teknik biar keren”.
Dapat ditebak dengan mudahnya tentu saja, dua semester pertama saya nilainya hancur berantakan. Penyebabnya adalah bertaburannya Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib diambil seperti Fisika, Kalkulus dan Kimia. Belum puas menyiksa mahasiswa dengan mata kuliah kelas berat itu, muncul lagi mata kuliah hasil turunannya seperti Kimia Analis dan Kimia Fisika. Walhasil, para dosen mata kuliah itu pun menjadi musuh bebuyutan kami. Dan stereotype dosen-dosen dari MIPA pun tetap melekat erat di mereka, old-fashioned, kaku, dan tidak komunikatif. Bagaimana tidak namanya old-fashioned, dandanan mereka rata-rata adalah gaya pemuda tahun 70-an; celana cutbrai, kemeja ketat kancing atas dibuka dan tentu saja dengan kacamata setebal pantat botol bertengger di atas hidung. Rina, seorang teman SMA saya yang telah menamatkan kuliah D3-nya di jurusan Kimia Terapan salah satu PTN di Jakarta dan meneruskan ekstensi S1-nya di MIPA sini, nyeletuk : “Busyet dah mahasiswa-mahasiswi di sini, masak pergi kuliah pakai kemeja merah bawahannya celana coklat!”. Saya pun mencoba berkelit, menerangkan bahwa dari segi berpakaian memang kami masih jauh dari namanya modis, maklum ndeso, tapi inilah kampus yang terkenal dengan kesederhanaannya dan lebih mengutamakan otak daripada penampilan. Masih merasa dendam dengan statement teman saya itu, ‘tema perang’ yang sering kami angkat pun berselubung arogansi jurusan (walaupun intinya adalah dasar kaminya saja yang tidak sanggup menghadapi siksaan ganas dosen-dosen mata kuliah dasar itu). Arogansi jurusan ini kadang-kadang juga bisa membuat kami berubah jadi mahasiswa yang menyebalkan. “Mbak-mbak, ngapain sih kuliah 5 tahun cuma untuk belajar gigi saja, gak kelamaan tu Mbak? Kami saja 5 tahun kuliah sudah khatam belajar bumi dan alam semesta, sama isi-isinya lagi!”, demikian goda kami ke seorang mahasiswi Kedokteran Gigi yang kebetulan cukup manis parasnya.
Indeks Prestasi saya di semester I hanya mencapai 2,6 lebih sedikit, hanya masuk ke golongan PMDK (Perhimpunan Mahasiswa IP Dua Koma). Selain saya, ada juga beberapa teman bernasib malang yang dikutuk terjerumus masuk ke golongan Nasakom (nasib satu koma). Karena itu pulalah saya menargetkan bahwa paling tidak saya harus lulus nanti minimal mengantongi Indeks Prestasi Kumulatif 2,75. Membayangkan untuk dapat lulus dan termasuk dalam klan Primagama (Perhimpunan Mahasiswa IP Tiga Koma) bagi saya yang otak pas-pasan ini, rasanya hampir tidak mungkin. Dipastikan penyumbang terbesar jebloknya IP saya di tahun pertama itu adalah nilai-nilai MKDU yang bertaburan dengan nilai sadis C, D dan E. Bahkan pada mata kuliah Kimia Dasar I, yang wajib diambil pada semester pertama, saya sukses untuk tidak lulus dengan dianugerahi nilai E. Penasaran, kesempatan semester pendek tahun berikutnya saya mencoba mengambil ulang mata kuliah itu dan mendapat nilai yang lebih lumayan, D. Masih penasaran lagi (campur emosi), pada semester ganjil tahun ketiga saya kejar lagi Kimia Dasar I itu dan sukseslah dianugerahkan kembali dengan nilai E sebagai penilaian final. Akhirnya, pasrah dengan ketidakadilan yang saya rasakan, nilai D keparat itulah yang digunakan dan termaktub dalam Kartu Hasil Studi saya untuk selamanya.
Teman saya Yadi lebih parah lagi nasibnya, selama menjalani kuliah 5 tahun selama itu pula setiap tahunnya dia mengambil mata kuliah Kimia Fisika. Jadi, MKDU Kimia Fisika sudah berubah statusnya jadi mata kuliah wajib baginya. Sebenarnya, dosen mata kuliah susah ini cukup aneh juga orangnya. Jadi jika beliau memakai ikat pinggang, saking panjangnya ikat pinggang itu seolah-olah membelit tubuhnya sebanyak dua putaran. Ujung ikat pinggangnya berakhir di belakang kanan badan, bukan di samping kiri depan seperti kebanyakan orang-orang. “Mbok yo dipotong ikat pinggangnya, atau beli baru yang pas di badan gitu lho..”, begitu gumun salah seorang teman. Cerita ‘cinta segitiga’ antara Yadi, Kimia Fisika dan dosennya ini langsung merekah berbunga-bunga tepat pada semester pertama. Awalnya Yadi merasa tidak puas dengan nilai C yang diperoleh karena dia merasa bisa mengerjakan dengan baik soal ujiannya. Apalagi si Mulyono yang notabene nyontek plek kerjaannya Yadi, malahan dapat nilai B (saya sendiri untuk mata kuliah ini memperoleh nilai A-thanks god, satu-satunya nilai A dalam MKDU yang saya peroleh tapi saya sendiri tidak dong blas sama sekali akan materi kuliahnya). Penasaran, tiap tahun dia pun mengulang, dan tahun kedua malahan dia mendapat nilai lebih buruk, D. Tambah emosi, dia mengulang lagi di tahun ketiga dan memperoleh nilai yang tetap sama, D. Dia sudah merasa demikian kalapnya ketika mengulang lagi di tahun keempat dan tetap saja mendapat nilai D, hingga dia datangi dosen itu yang ternyata mengaku stress dengan anak geologi karena selalu minta nilai bagus tapi tidak pernah memperhatikan beliau saat kuliah. Sampai-sampai dengan penuh arogan beliau memberikan soal ujian yang dia bilang tidak akan bisa dijawab satu pun oleh anak geologi. Akhirnya dengan penuh dendam membara menyala-nyala di dada, Yadi pun mengulang untuk kali terakhir dan dengan suksesnya ditasbihkan untuk tidak lulus dengan nilai E..! Satu-satunya nilai E yang pernah dia dapat seumur-umur selama kuliah.
Berapa orang kah yang bernasib parah seperti kami itu? Banyak juga sih, namun tetap saja di antara kami muncul beberapa ‘pengkhianat’ yang melejit cemerlang dan lulus dengan nilai A. Ehm, sebenarnya bukan pengkhianat sih, memang mereka dasarnya pintar-pintar kok. Ada seorang teman saya dari Sumatera, sebut saja Satriyo, yang otaknya saking encernya suka menetes kemana-mana kalau dia berjalan. Segala jenis cacing integral yang membingungkan dan menjijikkan bisa dia uraikan dengan cepat dengan hasil yang mengagumkan.  Namun sayangnya, giliran dia menghadapi materi kuliah transportasi butir sedimen, membayangkan perubahan ukuran dan bentuk butir yang terjadi seiring jauhnya jarak transportasi saja sudah kebingungan. Satu logika yang bagi saya begitu gampangnya, berubah menjadi sesuatu yang kompleks bagi dia. Begitu pula sebaliknya yang berlaku, benar-benar dunia geologi yang membingungkan!
Hiburan kami saat kuliah di semester awal adalah tentu saja mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan geologi itu sendiri, seperti Geologi Fisik dan Dinamik, Kristalografi dan Mineralogi serta Petrologi. Saya sendiri hampir selalu mendapat nilai baik untuk mata kuliah kegeologian, minimal B pasti sudah didapat di tangan. Walaupun sebenarnya saya merasa sama bodohnya saat menghadapi MKDU, namun tidak tahu kenapa nilainya selalu muncul lebih baik. Mungkin karena merasa lebih enjoy mengikuti perkuliahan, ah tapi entahlah. Bagaimana mungkin, kami yang bau kencur tidak tahu apa-apa ini sudah disodori oleh berbagai nama dan bentuk mineral serta puluhan jenis batuan yang harus dihapalkan. Mulai dari granit, granodiorit, riolit dari magma asam, hingga magma-magma lain serta berbagai batuan sedimen dan juga batuan metamorf yang merupakan turunan dari semua batuan sebelumnya. Targetnya sih, ini kata dosen mata kuliah Geodinamik, kami harus sudah fasih dengan tipe-tipe dan segala macam rupa batuan umum pada tahun pertama. Jadi misalnya kami sedang berjalan dan kaki tersandung batu, seorang mahasiswa geologi tahun pertama yang baik dan terlatih akan sudah sanggup untuk mengeluarkan makian : “Sompreet…!! Dasar ‘andesit’ sialan…!!”.
Bentuk dan warna bebatuan yang kami pelajari tersebut banyak yang serupa sehingga sangat-sangat membingungkan. Kejadian kocak yang saya ingat betul adalah saat dilakukannya tes praktikum Kristalografi dan Mineralogi, dimana kami harus mendeskripsi dan menentukan nama berbagai batuan dalam waktu kurang dari 2 menit. Bebatuan yang demikian banyak dan bermacam-macam jenis itu dijalankan dengan metode rolling ke teman di belakang. Jadi dalam waktu sekitar 1 jam, kami diserbu oleh berbagai bebatuan bermacam ukuran berwarna-warni dari berbagai jenis setiap 2 menitnya. Bunyi ‘tok!’, rasanya terdengar seperti gong kematian bagi kami karena bunyi mistar besi yang dihantamkan ke meja itu adalah penanda kami harus sudah selesai mendeskripsi batuan di tangan dan menyerahkannya ke meja belakang. Nah sialnya, seorang asisten dengan isengnya menyelipkan sepotong beton semen dan pecahan pantat botol di antara tumpukan bebatuan tersebut. Masih ingat persis dengan kejadian saat itu, “Hmm, batuan beku, abu-abu cerah, porfiroafanitik dengan fenokris kuarsa 2%, putih mengkilap, 1-2 mm, euhedral dengan masa dasar 98%, abu-abu cerah, skoriaan?”. “Kok cuma kuarsa ya yang kelihatan? Sedikit banget lagi!”, gumam saya agak kebingungan. “Ah sudahlah, pasti andesit ini!”, dan saya pun pede menuliskannya di lembar deskripsi. Dan tentu saja pecahan pantat botol tadi sukses saya deskripsikan sebagai batuan gelas vulkanik, coklat muda, glassy 100%, translucent. Seingat saya, tidak ada satupun teman yang berhasil mengenali itu sebagai beton dan beling! Sukseslah kami semua se-angkatan tertipu mentah-mentah dalam tes tersebut. Di akhir sesi sang ketua asisten berkata, “Tujuan saya menyelipkan beton dan beling itu bukan hendak menipu adik-adik lho ya. Kami hanya hendak menekankan bahwa deskripsi makroskopis tidak akan akurat tanpa memperhatikan singkapan batuan asalnya di lapangan”. Yeah, whatever the reason lah, yang jelas nilai kami juga tetap dikurangi gara-gara kehadiran dua barang terkutuk itu. Sejujurnya, saya sendiri pernah tertipu mentah-mentah saat mendeskripsi batuan, dan untungnya (sampai tulisan ini dibuat) tidak ada teman satu pun yang mengetahuinya. Saat sesi kuliah dan praktikum ruangan, kami diberi tahu bahwa materi erupsi gunung api yang terlempar ke udara dengan ukuran lanau dan lempung akan mengendap menjadi batuan tuff. Berwarna putih, ringan, mengandung banyak silika dan melampar mengisi cekungan. Salah satu cara empiris identifikasi paling cepat untuk tipe tuff adalah dengan menjilat bebatuan itu. Bila lidah terasa lengket tersedot menempel, berarti itu adalah positif tuff. Di sebuah kesempatan field trip, saya yang merasa menemukan batuan dengan lensa tuff di dalamnya mencoba menjilat kenampakan fragmen putih halus itu. Satu menit lamanya saya menjilat ‘tuff’ jejadian tersebut tanpa merasa lengket apa-apa, hanya untuk menyadari bahwa yang saya jilat itu adalah bercak besar dari kotoran burung yang sudah mengering !
Profil teman seangkatan saya sebenarnya cukup beragam, yang jelas saya ingat betul saat masuk ada sekitar 82 teman seangkatan dan 11 di antaranya berjenis kelamin cewek (satu orang cewek masih diragukan keaslian jenis kelaminnya karena sangat maskulin dan terbukti dalam beberapa kali trip ke lapangan selalu ditegur dengan sapaan ‘mas’ oleh para penduduk). Dahulu memang geologi adalah jurusan yang paling minim cewek, sehingga muncul julukan ‘jurusan 1 banding 3’. Bukan berarti satu cewek berbanding tiga cowok ya, tapi satu cewek dibagi untuk tiga angkatan! Belakangan, tidak tahu kenapa, geologi menjadi jurusan yang mulai banyak digemari cewek sehingga rasio 1 cewek vs 3 cowok bukanlah hal yang aneh lagi. Saat ini, kutukan 1 banding 3 itu saya rasa hanya masih berlaku di jurusan Teknik Mesin yang dalam satu angkatannya bisa memperoleh 2 mahasiswi saja sudah sangat-sangat beruntung. Latar belakang jalur masuk mahasiswa geologi pun bermacam-macam. Jaman saya saat itu cuma ada tiga, jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Pemilihan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan Pemilihan Bibit Atlet Daerah (PBAD). Nah, teman-teman non-UMPTN ini lah yang paling kasihan. Bukan apa-apa, seringkali mereka terdampar ke geologi tapi tidak tahu seperti apa nanti kuliahnya. Maklumlah, saat kelas dua SMA, mereka hanya mendaftar memilih jurusan tertentu tanpa merasa mendapat informasi yang cukup seperti apa profil jurusan tersebut sesungguhnya. Contohnya ya teman saya si jago kalkulus Satriyo tadi, yang merasa kesulitan mengadaptasikan diri dengan fenomena geologi yang lebih condong ke sifat abstrak daripada eksak. Yang lebih parah lagi, teman-teman non-UMPTN ini juga sering diejek-ejek kapasitasnya sebagai mahasiswa. Mengapa? Yah, karena mereka dianggap tidak ikut merasakan beratnya siksaan UMPTN. Tidak ikut merasakan susahnya dan pusingnya persiapan bimbel, desak-desakan mengantri formulir, hingga bersaing ketat se-antero nusantara memperebutkan kursi yang cuma ‘se-iprit’ jumlahnya itu. Tekanan mental itu, walaupun hanya tersirat, ternyata cukup dahsyat juga efeknya bagi sebagian orang. Saat akhir tahun pertama, beberapa rekan ketahuan mencoba mengambil tes UMPTN. Beberapa yang lulus, dan yang memang dari awal berniat pindah ke jurusan yang lebih bergengsi seperti Teknik Kimia, Teknik Elektro dan Kedokteran Umum pun segera hijrah. Ada juga yang cukup sableng, tampak beberapa rekan hanya mondar-mandir di tangga kampus menenteng-nenteng selembar koran lokal yang memuat nama-nama peserta kelulusan UMPTN. Dengan bangganya mereka men-stabilo namanya di situ dan memamerkan kelulusannya ke teman-teman yang lain. Apakah mereka juga akan pindah jurusan? Oh tidak, mereka ikut tes UMPTN lagi tanpa ada niat sama sekali untuk pindah jurusan. Mereka hanya hanya mau show off ke rekan-rekan lain bahwa sebenarnya mereka yang dulu masuk dari jalur non-UMPTN, sanggup untuk lulus UMPTN dan berhak memosisikan dirinya setara dengan yang lain. Kehilangan beberapa teman di tahun kedua (kami menjadi ber-78), tidak menyurutkan semangat kami melanjutkan kuliah ke semester-semester atas. Tahun kedua itu pulalah arogansi UMPTN vs non-UMPTN mulai mencair dan hilang sepenuhnya ditempa oleh waktu dan beratnya beban materi kuliah geologi yang dengan kompak kami hadapi bersama-sama.
Apakah akhirnya semua dari kami lulus dengan gemilang dan happy ending? Tidak juga sebenarnya, beberapa teman memang ‘menghilang’ di tengah jalan. Ada yang menghilang karena masalah keluarga, ada yang karena kesulitan ekonomi, ada yang sudah memperoleh pekerjaan dan berbagai masalah klasik lain yang umum menimpa mahasiswa ndeso seperti kami. Namun satu yang masih membekas di ingatan kami, seorang teman yang baik hati bernama Irwan Pandu yang berasal dari pulau Obi-Maluku, yang menghilang tanpa kabar selama dua tahun lamanya. Dan sangat mengejutkan saat berita terakhir yang saya terima, dia sudah bergabung ke salah satu laskar keagamaan dan terjun ke salah satu medan konflik di Indonesia kala itu. Benar-benar unik dan lain dari yang lain!

Moral of The Story :

Hidup adalah pilihan, dan jika sudah membuat pilihan, jalanilah sepenuh hati dengan segala konsekuensinya walaupun pahit rasanya.