pagi ini ada yg ngechat..sahabat saya waktu SMA..skrg dia jadi arsitektur di UGM..nahdi chat sebuah artikel unik menarik dan penuh filosofi..yg ingin saya reBlog biar dibaca banyak orang.. ini karangan mas Andika Saputra...
Mohon izin ya mas buat reBlog..ini bagus bgt trutama utk saya sebagai mahasiswa teknik lingkungan..smoga bermanfaat
Mohon izin ya mas buat reBlog..ini bagus bgt trutama utk saya sebagai mahasiswa teknik lingkungan..smoga bermanfaat
Kota yang sepi. Kenapa?
Kota yang ditinggalkan masyarakatnya. Kemana?
Tak kemana. Ia hanya dicerai ruang terbuka.
Kota yang kesepian.
Sebab hal ihwal
perceraian kota dengan ruang terbuka tak ingin aku ungkap di artikel ini
toh bukan rahasia lagi bahkan banyak pihak saling tuding. Maksud ingin
menghilangkan pilu, kota mencari pasangan baru. Mencoba menjalin
hubungan dekat dengan Mall, awalnya berjalan baik tapi harus berakhir di
tengah jalan karena keegoisannya menjadikan kota hanya sebatas obyek
perasan. Kota yang tak ingin putus asa mencoba kembali menjalin hubungan
mesra, kali ini dengan bangunan perkantoran yang menjulang hingga ke
langit. Tapi lagi-lagi harus menahan pahitnya hinaan karena begitu
sombongnya menjadikan kota direndahkan serendah-rendahnya. Kota yang
kembali sendiri, tanpa hak asuh anak menjadikannya sepi.
Dalam artikel ini
aku ingin berbincang tentang ruang terbuka yang kini menjanda. Yang dari
rahimnya lahir masyarakat yang memasyarakat, yang diasupinya dengan
udara dan diajarinya menjalin rajutan pengalaman dalam ruang bersama.
Ruang terbuka adalah ibu bagi masyarakat yang berkelanjutan, pasangan
terbaik baik kota yang ingin tampak muda hingga seabad kedepan. Sungguh
tah habis pikir berbagai konflik dan intrik yang dipaksakan untuk
memisahkan keduanya dan merusak keharmonisan keluarga kota. Katanya demi
kehidupan yang lebih baik, walaupun tahu tak ada perceraian membawa
kebaikan. Karena itu dalam artikel ini pun aku ingin berbincang tentang
kota yang (ke)sepi(an).
Setiap perceraian pasti menghadirkan korban; anak-anak hasil pernikahan
yang harus mengalami trauma sepanjang angan. Masyarakat kota, korban
dari perceraian kedua orang tua yang (tak) dikehendaki. Masyarakat yang
dahulu memasyarakat kini tercerai berai menjadi (sekedar) orang-orang.
Tak lagi dalam identitas keluarga. Di-panti asuhan-kan dalam penjagaan
ibu asuh yang asing tapi melenakan. Tentu dalam artikel ini pun aku
ingin berbincang tentang masyarakat kota yang mulai kehilangan ingatan
atas ayah dan ibu. Anak yang di-yatim-kan dan di-piatu-kan oleh pihak
ketiga yang sedang (mulai) lupa akan usul dan asalnya.
Rustan Hakim, seorang ahli arsitektur landskap mengkategorisasikan ruang
terbuka menjadi ruang terbuka pasif dan ruang terbuka aktif. Mudahnya,
ruang terbuka pasif memiliki fungsi ekologis sedangkan ruang terbuka
aktif memiliki fungsi sosial. Dampak tersingkirnya bahkan menghilangnya
ruang terbuka pasif dalam suatu kota akibat tergerus perkembangan yang
tak beradab menyebabkan munculnya berbagai bencana alam. Banjir salah
satunya yang telah akrab dan rutin datang setiap tahun di musim
penghujan karena tak tersedia ruang bagi air untuk kembali ke dalam
tanah. Lalu masyarakat pun harus diungsikan.
Kota yang awalnya riuh dengan berbagai aktivitas mendadak sunyi senyap
ditinggal masyarakat yang mengungsi dan termenung sedih di tempat
pengungsiannya. Kota yang kesepian, begitu pula masyarakatnya.
Dampak yang lebih mengerikan dari tersingkirnya ruang terbuka pasif
disaksikan langsung oleh Ibnu Khaldun –semoga Allah merahmatinya- di
Kota Fez yang mewakili daerah maghrib dan Kota Mesir yang mewakili
daerah masyriq pada abad 14 masehi. Hilangnya ruang terbuka pasif akibat
pembangunan fisik yang pesat tak terkontrol menjadikan kota hidup tanpa
kemampuan menghasilkan udara bersih. Kepadatan kota yang tinggi dengan
berbagai wujud keangkuhan arsitekturnya tak dapat menjadi penolong
masyarakatnya dari kualitas udara yang buruk sehingga mudah berkembang
berbagai wabah penyakit yang berakhir dengan angka kematian yang
tinggi.
Aku kutipkan nasihat dari Ibnu Khaldun –semoga Allah merahmatinya- agar semoga dapat diambil pelajaran,
“Angka kematian di kota-kota yang dipenuhi bangunan seperti Mesir di masyriq dan Fez di maghrib lebih banyak dibandingkan di tempat lainnya”.
“Penyebab banyaknya bau busuk dan kelembaban yang membahayakan adalah banyaknya dan sempurnanya pembangunan”.
“Berjangkitnya wabah biasanya disebabkan oleh rusaknya udara akibat banyaknya pembangunan yang membuat banyak hal bercampur, baik bau busuk maupun kelembaban yang berbahaya”.
“Jelaslah hikmah pentingnya ruang terbuka dan gurun yang tak berair di antara bangunan-bangunan. Ini sebuah keharusan agar udara dapat leluasa silih berganti menghilangkan kerusakan dan kebusukan yang terdapat di udara sehingga dapat mendatangkan udara yang sehat”.
Kematian warga yang serempak dan tak berkesudahan menjadikan kota
semakin sepi dan akhirnya seorang diri. Kota (bagi orang) mati.
Tak terhitung dampak ekologis akan muncul seiring rusaknya ruang terbuka
pasif, pun tak sedikit dampak sosial akan muncul sering menghilangnya
ruang terbuka aktif. Ruang terbuka aktif adalah ruang bertemu bagi warga
kota, ruang berjumpa, ruang bercengkerama bersama, ruang berbagi kasih
dan pandangan, atau sekedar ruang untuk menikmati terbenamnya matahari
di ufuk sambil menikmati segelas teh hangat ditemani sebuah buku.
Bagaikan denyut nadi, ruang terbuka aktif memastikan jantung kota terus
berdenyut. Memutus nadinya sama saja mengakhiri riwayatnya.
Kita harus jujur kualitas dan kuantitas ruang terbuka aktif di berbagai
kota memang semakin menyedihkan. Pembangunan fisik yang hanya bertujuan
ekonomi menumbuh suburkan praktek komersialisasi ruang. Ruang-ruang tak
bernilai rupiah pun harus menyingkir, kemudian dipetakkan sebagai obyek
komoditas. Alasan tingginya harga lahan menjadi pembenaran untuk
membangun semaksimal mungkin tanpa menyisakan sejengkal pun ruang
terbuka atas nama untung rugi materi. Bagi developer perumahan tentu
jauh lebih menggiurkan memaksimalkan penambahan unit rumah yang dapat
menghasilkan keuntungan dibandingkan menyediakan lahan ruang bersama
bagi warganya.
“Ini bisnis bung, bukan pergerakan sosial. Apalagi pergerakan melawan pasar!”
Wabah penyakit akibat hilangnya ruang terbuka aktif telah mencemari
udara bahkan tanpa disadari telah banyak korban berjatuhan. Wabah
penyakit yang tak terdeteksi bahkan tak dirasakan gejalanya.
Mark Slouka mencoba mendeteksi penyakit akibat hilangnya ruang terbuka
aktif di tengah komunitas masyarakat kota yang disebutnya dengan
penyakit ‘kembali ke rumah’. Realitas yang dianggap telah rusak dan
tercemar di sisi lain teknologi yang menawarkan kemampuan mengkonstruksi
realitas maya yang ideal menjadikan warga kota lebih memilih untuk
berada di dalam ruang-ruang pribadinya; rumah. Ketiadaan ruang bersama
untuk saling bertegur sapa dan bercanda tergantikan dengan aktivitas
chatting di sosial media, menikmati tontonan televisi dengan berbagai
program penjelajahan alamnya yang entah berada di planet mana, atau
menghabiskan waktu mendengarkan lagu sambil mengingat-ingat kenangan
berkumpul bersama di pojok taman kota yang kini menjadi alas apartemen
kalangan elit.
Yasraf Amir Piliang telah jauh-jauh hari mengingatkan agar berhati-hati
dengan kehadiran teknologi cyber yang dianggap oleh pecandunya mampu
menggantikan ruang terbuka aktif di alam fisik dan dipercaya mampu
menghadirkan realitas yang sempurna tanpa cacat dan penyakit.
Perlahan-lahan warga kota akan kehilangan rasa kepemilikan terhadap
ruang bersama dalam alam fisik. Tak ada lagi rasa perhatian apalagi
keterikatan, bahkan tak mau tahu akan keberadaannya karena telah
menemukan alam yang lain. Alam yang baru kata Allucquere Rosanne Stone.
Betapa jauh jarak antara pecandu dunia maya dengan realitas sebenarnya,
kata Slouka, sehingga berbagai aktivitas bersama yang sederhana di ruang
terbuka bagaikan aktivitas yang menjemukan milik masyarakat romantisme
yang tidak lagi relevan di zaman teknologi digital saat ini atau
aktivitas yang eksotis milik masyarakat tribal yang hanya dapat ditemui
di pelosok dunia yang tak mampu dijangkau oleh citraan satelit. Pun
sudah kita temui generasi baru yang begitu bergairahnya bermain sepak
bola di depan layar monitor dibandingkan menendang bola di tengah
lapang, karena memang kini lapang telah menjadi sempit dan tentu saja
teknologi menawarkan solusi permainan sepak bola tanpa cedera, keringat,
dan nafas yang tersenggal-senggal. Dan yang terpenting tanpa perlu
tanah lapang. Munculnya fenomena tersebut memancing Gregory Stock untuk
menggerutu,
“Sudah tak mengherankan apabila keterkaitan emosional antara manusia dengan lingkungan alamiahnya kini semakin rapuh. Suatu bagian pengalaman manusia yang kini semakin berkembang malah terjadi di alam yang sama sekali berbeda (realitas maya -pen)”
Paul Virilio mungkin akan tersenyum lebar seiring bermunculan
fakta-fakta yang menguatkan tesisnya bahwa arsitektur telah mati karena
masyarakat tak lagi peduli dengan dimensi fisik ruang di alam relitas.
Terhanyut di dalam ruang arsitektur maya. Kehidupan kota ‘di luar’
menjadi sepi karena ramainya berpindah ‘ke dalam’.
Warga kota yang merasa nyaman berada di dalam ruang-ruang pribadinya
menjadikan kota seketika sepi. Denyutnya sangat lemah. Sebab hilangnya
warga kota bukan mengungsi karena bencana alam, bukan pula bergeletakan
menjadi mayat karena wabah penyakit, tapi warganya tengah sibuk berada
di dunia baru yang tanpa bencana alam dan tanpa wabah penyakit yang
mematikan. Kota yang diacuhkan warganya memang kota yang (ke)sepi(an).
*****
Menggunakan logika berpikir Mark Slouka aku ingin mengatakan, adalah
kewarasan yang sederhana bagi kita untuk terikat dengan realitas fisik.
Sejauh mana kesadaran dan keterikatan kita terhadapnya, sejauh itu pula
kepedulian kita untuk menjaga hubungan yang harmonis antara kota dan
ruang terbuka. Kata banyak orang, hanya anak yang dapat menjaga
kebersamaan kedua orang tuanya. Tentu hanya jika kita berkeinginan untuk
menjaga keutuhan keluarga. Keluarga kota yang berkelanjutan.
Akhirnya, wallahu a’lam bishawab.
Ditulis oleh Andika Saputra
Bertempat di Yogyakarta pada Jumadil Awal 1435 Hijrah Nabi